Walungan dan Masyarakat Pasir Angling Gelar Kurban dengan 25 Domba

Masyarakat Pasir Angling menggelar ibadah kurban untuk memperingati Idul Adha 1443 Hijriah. Sebanyak 25 ekor domba disembelih dan diolah oleh masyarakat pada Selasa, 12 Juli 2022 di Rumah Potong Hewan Mikro (RPH Mikro) Pasir Angling, Suntenjaya, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Dalam kegiatan tersebut, Walungan turut mendonasikan hewan kurban serta menyediakan lokasi pemotongan dan pengolahan daging.

Anda, Ketua RW 07 Kampung Pasir Angling, dalam sambutannya menyampaikan terima kasih kepada Walungan yang sudah melakukan kurban di kampung tersebut. Beliau berharap semakin banyak masyarakat Pasir Angling yang tertarik untuk berkurban di kampung tersebut. “Semoga warga tersentuh untuk menyisihkan rezekinya dan berkurban di kampungnya,” harapnya.

Riki Frediansyah, Ketua Walungan, menyampaikan terima kasih kepada kasepuhan, pengurus DKM Al Musyawarah, serta pengurus RT dan RW di Kampung Pasir Angling, Suntenjaya. Riki juga menyampaikan apresiasinya kepada panitia dari unsur masyarakat Pasir Angling. Mereka lebih memilih untuk mengorbankan waktu berkebun dan beternaknya guna mensukseskan acara tahunan tersebut. “Semoga jadi salah satu bentuk pengurbanan hal yang kita cintai,” ungkapnya.

Dalam sambutannya tersebut, Riki mengajak para panitia untuk menjaga kenyamanan domba-domba yang akan dikurbankan. Menurutnya, domba yang nyaman pada saat disembelih akan memiliki kualitas daging yang baik. Sebaliknya, bila domba stress dan tegang, maka darahnya malah akan terjebak di dalam daging. “Daging dombanya malah jadi tidak enak,” ungkap dokter hewan lulusan Institut Pertanian Bogor ini.

Oleh karena itu, Riki menjelaskan bahwa pihaknya sengaja menyekat dan menutup area penyembelihan. Hal ini ditujukan agar domba-domba yang menunggu giliran tetap nyaman dan tidak tegang lantaran melihat proses penyembelihan teman-temannya.

Amal Shalih Tertinggi

Wawan Djuwarsa, pengawas Walungan, dalam sambutannya menyampaikan bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah merupakan momen terbaik dalam penanggalan Islam, di samping sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Puncak momen terbaik Ramadhan sendiri terjadi pada malam Lailatul Qadr. Adapun puncak momen terbaik bulan Dzulhijjah adalah tanggal 9 Dzulhijjah, ketika jamaah haji sedang berada di Arafah. Bagi masyarakat muslim di tanah air, puncak momen terbaiknya terjadi pada saat penyembelihan hewan kurban pada tanggal 10 Dzulhijjah dan tiga hari tasyrik setelahnya.

Lebih lanjut, Wawan menyampaikan bahwa ibadah Kurban dan Haji relatif seperti dua sisi mata koin yang sama. Keduanya bertujuan untuk meraih alBirr, atau kebaktian tertinggi. Secara hakikat, alBirr bermakna memberikan hal yang kita cintai. Untuk masyarakat yang berperan dalam proses penyembelihan pada momen kurban, Wawan berharap bahwa mereka juga turut berkurban dalam bentuk hal-hal yang dicintainya, yaitu mengorbankan waktu berkebun dan memelihara ternaknya. “Semoga para panitia kurban yang berkontribusi digolongkan sebagai orang-orang yang berkurban,” doanya.

Secara kata, Wawan menjelaskan bahwa Kurban berasal dari kata Qori yang berarti dekat. Sejatinya, orang-orang yang berkurban itu menyembelih hawa nafs-nya dengan niat untuk kembali kepada Allah ta’ala. Harapannya, aktivitas tersebut diterima oleh Allah ta’ala dan memperlancar rezeki hamba-hmba-Nya. Rezeki sendiri bentuknya bermacam-macam.

Bagi mereka yang berhaji, rezekinya ada di Arafah. Sedangkan masyarakat Pasir Angling yang berpuasa Shaum Arafah, Wawan berharap, mereka mendapatkan pahala yang sama dengan orang-orang yang berhaji. Bila pada bulan Dzulhijjah para muslim ikhlas beribadah karena Allah ta’ala, Wawan menuturkan bahwa mereka yang berhaji akan mendapatkan predikat mabrur, sedangkan yang berkurban berpredikat alBirr. “Dan keduanya sama saja,” tandasnya.

Lebih lanjut, Wawan memaparkan bahwa kesejatian haji dan kurban terletak pada penyembelihan sifat-sifat hewaniah di dalam dirinya masing-masing. Sifat-sifat hewani ini biasanya digunakan oleh setan untuk mengganggu manusia. Setelah seorang muslim berhasil menyembelih sifat-sifat ini, Wawan menandaskan bahwa mereka akan mengakadkan untuk kembali kepada Allah secara penuh. “Semoga mereka semua diterima takwanya,” tutupnya, singkat.***

Mesin Pengolah Sampah Itu Berjuluk Magot dan Ayam

Syarif Azis sedang memberi makan ayam-ayamnya dengan sampah organik. (Foto: Yudha PS)

Matahari baru saja hinggap di atas kepala di Kota Tasikmalaya siang itu. Namun, kondisi cuaca yang panas tersebut tidak menyurutkan tekad Syarif Azis untuk memberi makan kepada ayam-ayam peliharaannya di kandang. Aktivitas yang tampak biasa memang, tetapi cukup mengernyitkan dahi para peternak pada umumnya ketika mengetahui komposisi terbesar pakannya: sampah buah-buahan.

“Kami sedang mencoba formula baru untuk pakan ayam kampung,” papar penyandang gelar sarjana peternakan dari Universitas Padjadjaran Bandung ini. Dia mencampur sampah organik dengan dedak dan pelet. Komposisinya pun terbilang besar, yaitu: 60 persen sampah organik, 30 persen dedak, dan 10 persen pelet premium. Ayam-ayam kampung peliharaan Syarif pun makan dengan lahapnya.

Berbicara peternakan, perkara pakan memang memakan biaya yang cukup besar. Namun, Syarif sendiri melihat bahwa sampah organik ternyata menawarkan solusi atas tingginya pakan dalam peternakan ayam kampung. Dia mampu mereduksi harga pakan hingga 50 persen. Hasil lainnya, Syarif melihat bobot ayam pun meningkat di atas rata-rata pada umumnya. Pada usia sekitar 42 hari atau 6 pekan, rata-rata ayam kampung peliharaan Syarif memiliki bobot kisaran 600-700 gram. Hal ini cukup baik bila dibandingkan rata-rata bobot ayam kampung hasil penelusuran literaturnya yang hanya mencapai kisaran 450-500 gram pada usia yang sama.

Ke depan, Syarif menargetkan bahwa timnya mampu mengupayakan bahan baku yang tersedia di alam sebagai pakan ayam kampung. Pakan dedak akan digantikan dengan tepung magot secara bertahap. Konsentrat pun berusaha dia dan timnya kurangi dari 10 persen, kemudian jadi lima persen. “Mudah-mudahan bisa turun hingga nol persen,” ucapnya penuh harap.

Aktivitas Syarif ini merupakan rangkaian dari riset pengolahan sampah organik perkotaan. Sentral aktivitasnya berada di Pusat Riset Pengolahan Sampah Organik Walungan di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Letaknya pun cukup strategis, yaitu bersebelahan dengan pasar induk terbesar di Kota Santri. Hal ini mempermudah Syarif dan timnya untuk memindahkan sampah organik dari area sayur-sayuran dan buah-buahan ke area pengolahan sampah.

Berbicara tentang sampah, pada tahun 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan bahwa sampah terbanyak di masyarakat berjenis sampah organik, yaitu hingga 42,8 persen. Rumah tangga dan area pasar tradisional merupakan penyumbang sampah terbesar dengan besaran masing-masing 45,7 persen dan 22,7 persen. Limbah inilah yang coba Syarif sulap menjadi tantangan, peluang, dan bahkan berkah.

Lebih lanjut, bapak dua anak ini memaparkan bahwa riset pengolahan sampahnya fokus ke pengembangan larva Lalat Prajurit Hitam (Black Soldier Fly) sebagai mesin pengolah sampah organik. Menurutnya, larva berjuluk magot ini mampu mengkonsumsi sampah organik dengan ukuran besar dalam waktu cepat. Sebagai ilustrasi, satu Kilogram magot bisa menghabiskan 10 Kilogram sampah per hari. Dalam waktu 30 hari, jumlah magot yang sama mampu menghabiskan 300 Kilogram sampah organik.

Variasi sampah organiknya pun cukup luas. Syarif sendiri kerap menggunakan sampah buah-buahan, seperti: buah naga, semangka, dan pisang, serta sayur-sayuran, seperti: kol, tomat, kubis, wortel, dan brokoli. Buah-buahan sendiri relatif lebih mudah dikonsumsi oleh magot lantaran kondisinya sudah membusuk. Namun, khusus untuk sayuran, Syarif biasanya mencacahnya terlebih dahulu agar mampu dikonsumsi lebih baik oleh magot. Jumlah yang diolahnya pun mencapai 1,5 hingga 2 ton sampah organik. “Namun, jumlah tersebut belum maksimal,” paparnya.

Menurutnya, timnya masih terkendala masalah pengangkutan yang masih terbatas. Tantangan lainnya, pria kelahiran Tasik ini juga masih harus mempersiapkan rangkaian pengolahan magot dan hasil pengolahan sampahnya dalam jumlah yang besar. Dia masih harus berjuang untuk memisahkan magot yang sudah mulai memasuki fase pupa dari medianya lantaran alat pengolahan yang masih hanya untuk skala kecil.

Pada usia 40 hingga 45 hari, larva BSF sendiri akan berubah menjadi pupa untuk kemudian bertransformasi menjadi lalat beberapa hari kemudian. Pada fase ini, para peternak magot kerap memisahkannya dari sampah organik yang mulai menjadi kompos dan kasgot. Kompos dan kasgot merupakan produk sampingan budidaya magot. Kasgot sendiri merupakan kependekan dari Bekas Magot yang merupakan serpihan hasil residu sang larva. Media ini cukup subur dan baik sebagai pupuk bagi tanaman. Sedangkan kompos merupakan bagian residu yang lebih besar dari magot dan cocok sebagai campuran untuk bercocok tanam.

Dalam konteks sebagai pakan, magot BSF baru digunakan sebagai pakan ayam semata. Bila jumlah magotnya berlimpah, komposisi pakan pun diubah menjadi 20 persen magot, 40 persen sampah organik, serta 30 persen dedak dan 10 persen konsentrat. Ke depan, Syarif menargetkan untuk memperluas penyaluran magot ke ikan. Pasalnya, kebutuhan protein ikan lebih banyak dibandingkan ayam, sehingga ikan memadai untuk mengkonsumsi magot lebih banyak dibandingkan ayam.

Tantangan lainnya, Syarif masih harus menelusuri perkembangan magot yang sangat berkorelasi dengan cuaca dan iklim tempatnya berkembang biak. Perlu waktu memang, tetapi dirinya terus berjuang untuk mewujudkan mesin pengolah sampah alami tersebut yang mampu menyulap sampah menjadi berkah.***

Pasang Sensor Baru, Muka Air Sungai Cikapundung Kini Terpantau Online!

Anggota Divisi Instrumentasi Walungan sedang memasang alat sensor Stasiun Tinggi Muka Air di Bendungan Bantar Awi, Sungai Cikapundung, Bandung, Jawa Barat. (Foto: Bambang Setyadi)

Walungan memasang alat sensor baru Stasiun Tinggi Muka Air (STMA) 4.0 di Bendungan Bantar Awi Sungai Cikapundung di area Taman Hutan Raya Djuanda pada Kamis, 17 Februari 2022. Alat ini merupakan generasi keempat perangkat sensor yang sudah dikembangkan oleh Walungan sejak tahun 2013. Lalu, apa saja keunggulan perangkat ini dibandingkan pendahulunya?

Toris Pristiwahono, Kepala Pengembangan Perangkat Divisi Instrumentasi Walungan, menyampaikan bahwa pihaknya menerapkan empat penyempurnaan dalam perangkat sensor permukaan air sungai tersebut. Pertama, fitur Telemetri yang memungkinkan data-data sensor langsung dikirimkan ke server secara periodik melalui saluran jaringan telepon seluler. Periode pengirimannya pun cukup rapat, yaitu sekitar 10 menit. Artinya, ada sekitar 144 data tinggi muka air sungai Cikapundung dalam waktu 24 jam.

Menurut Toris, jumlah datanya tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan pencatatan muka air sungai secara manual yang hanya dilakukan sebanyak dua kali dalam sehari: pagi dan sore. Akibatnya, lonjakan debit air yang terjadi pada tengah malam atau di luar waktu pemantauan lepas dari pengamatan dan pencatatan. “Padahal, bisa jadi, lonjakan debit air tersebut penting bagi para periset,” paparnya.

Keunggulan lainnya, Toris memaparkan bahwa fitur Telemetri ini juga memungkinkan tim instrumentasi merespon kerusakan perangkat STMA 4.0 dalam waktu cepat, yaitu maksimal 24 jam. Hal ini meminimalisir kehilangan data akibat perangkat yang tidak berfungsi optimal.

Pada perangkat sebelumnya, fitur Telemetri terkendala lokasi STMA yang berada di luar jangkauan sinyal perangkat telepon seluler. Saat itu, Toris hanya melengkapi perangkat sensornya dengan fitur Wi-fi. Fitur ini memungkinkan Tim Instrumentasi Walungan untuk mengambil data dengan cara mengunduhnya langsung dari perangkat. Hanya saja, Toris dan timnya harus mengunjungi lokasi perangkatnya untuk mengambil data, setidaknya dua pekan sekali. Kendala lainnya, tim kerap kehilangan data bila perangkat berhenti berfungsi beberapa jam atau hari setelah kunjungan terakhir. “Perangkat sebelumnya menyedot energi tim lebih banyak,” tandas alumni Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya ini.

Penyempurnaan kedua, perangkat STMA 4.0 mampu mengukur ketinggian muka air sungai dengan lebih detail dan presisi. Toris menyampaikan bahwa resolusi perangkat sensornya mampu menangkap perubahan hingga jarak satu milimeter. “Jadi, perubahan air sekecil apa pun bisa terdeteksi,” ungkap pria kelahiran Blitar, Jawa Timur ini.

Ketiga, kemampuan memproses datanya pun lebih banyak dan luas. Menurut Toris, timnya mempersenjatai STMA 4.0 dengan mikroprosesor dan mikrokontroler yang lebih lengkap. Hasilnya, perangkat sensor tersebut mampu menyimpan data lebih banyak dengan variasi sensor yang lebih luas. Harapannya, STMA 4.0 mampu mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan sensor yang lebih beragam seiring kebutuhan para periset.

Terakhir, kebutuhan daya dan energinya jauh lebih rendah dari versi sebelumnya. Saat ini, STMA 4.0 menggunakan energi yang berasal dari solar panel berukuran 50 WP. Listrik dari solar panel ini, menurut Toris tersimpan di baterai yang terpasang di lokasi. Hasilnya, kombinasi solar panel dan baterai ini mampu menjaga perangkat sensornya tersebut bekerja tiada henti selama 24 jam.

Walungan sendiri sudah mengumpulkan data debit air di Bendungan Bantar Awi sejak tahun 2013 silam. Pengumpulan data ini merupakan bagian dari pemetaan pola iklim sekaligus karakter aliran air Sungai Cikapundung dan dampaknya terhadap masyarakat di Cekungan Bandung. Capaian utamanya, data debit air ini memungkinkan para periset Walungan melihat tren aliran air yang berkorelasi langsung terhadap kondisi tangkapan air di bagian hulu.

Selain data debit air, Walungan juga mengembangkan perangkat Stasiun Pencatat Cuaca Otomatis (SPCO) sebagai bagian dari pemetaan pola iklim di Cekungan Bandung. Saat ini, SPCO baru dipasang di Pasir Angling, Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Ke depan, SPCO serupa akan dikembangkan di lokasi riset Walungan lainnya di Cekungan Bandung, beberapa di antaranya: Bojong Koneng, Kabupaten Bandung Barat; Mandalasari, Cicalengka, Kabupaten Bandung; serta Buah Batu, Kota Bandung. “Semoga perangkat SPCO juga bisa kami tingkatkan kemampuannya dalam waktu dekat,” tutup Toris, singkat.***

Walungan Selesaikan Bangunan Pusat Pembiakan Domba di Pasir Angling

Fasilitas pembiakan domba yang dibangun oleh Walungan di Pasir Angling. (Foto: Yudha PS)

Guna meningkatkan proses pembiakan domba, Divisi Peternakan Walungan membangun fasilitas Pusat Pembiakan Domba (PPD) di Pasir Angling, Suntenjaya, Lembang, Bandung Barat, Jawa Barat. Riki Frediansyah, Ketua sekaligus Kepala Divisi Peternakan Walungan, menargetkan fasilitas ini mampu meningkatkan pembiakan domba di Pasir Angling. Rencananya, PPD akan mulai difungsikan mulai Oktober 2021.

Pusat Pembiakan Domba sendiri memiliki kapasitas empat ruangan pembiakan dengan total ukuran 5 x 10 meter persegi. Masing-masing ruangan bisa menampung 10 ekor domba yang terdiri dari sembilan betina dan satu jantan. Selama tiga bulan, domba-domba tersebut akan dipelihara di ruangan tersebut hingga mengalami kebuntingan. Setelahnya, baru domba-domba betina dipisahkan ke kandang khusus. Di kandang ini, betina akan dimonitor perkembangan kebuntingan hingga proses kelahiran tiba.

Lebih lanjut, Riki menyampaikan bahwa PPD memiliki fungsi strategis dalam proses peternakan domba. Menurut alumni Kedokteran Hewan IPB ini, fasilitas pembiakan bertujuan untuk menjaga kualitas domba. Peternak bisa mengatur perkawinan antar domba-domba yang memiliki bibit unggul dengan anakan yang sesuai dengan karakter gen induknya dan sehat secara fisik. “Jangan sampai terjadi in-breeding. Kualitas anakannya bisa buruk,” papar Riki.

Menurut Riki, In-Breeding sendiri merujuk kepada pembiakan yang induknya memiliki gen berdekatan, seperti: pejantan yang kawin dengan induknya, atau pejantan yang kawin dengan anaknya. Bisa dipastikan, kualitas anak yang dilahirkannya akan jatuh, bahkan kesehatannya cenderung rentan. Dalam konteks ini, PPD membantu peternak untuk menghindari perkawinan antar domba yang memiliki gen berdekatan.

Berbasis Peternakan Integratif
Pusat Pembiakan Domba Pasir Angling memiliki banyak keunggulan secara rancangan. Menurut Riki, timnya menerapkan aspek Pertanian & Peternakan Integratif yang membuat PPD mempermudah peternak, ramah terhadap lingkungan, dan memperhatikan kenyamanan ternak.

Riki mencontohkan dengan lantai kandang yang terbuat dari bambu. Bilah-bilah bambu dibuat agak renggang, sehingga limbah berupa padatan dan urin terpisah secara otomatis. Selain meminimalisir aroma tidak sedap dari kandang, sistem ini mempermudah proses pembuatan pupuk dari limbah padat dan cairan secara terpisah.

Kawasan kandang juga dirancang agar nyaman untuk hewan dan peternaknya. Bagi ternak, Riki menyediakan arena gembalaan, menjaga kebersihan kandang, menyuplai makanan bergizi, serta menanam tumbuh-tumbuhan di sekitar kandang. Sedangkan bagi peternak, rancangan PPD ini membuat mereka lebih mudah dalam bekerja, sejuk dalam memandang, dan tetap bersih dalam beraktivitas.

Riki juga mempertimbangkan aspek cuaca dan iklim di Pasir Angling untuk fasilitas pembiakannya tersebut. Ayah dua anak ini merancang dinding kandang yang mampu menahan angin dan air hujan yang datang secara tidak beraturan akibat posisi PPD yang berada di lembah. Air hujan sendiri kemudian dialirkan ke tempat yang membuatnya bisa dipanen.

Aspek tumbuhan di sekitar PPD juga jadi faktor penting bagi ternak dan peternaknya. Riki menanam berbagai tumbuhan yang memiliki fungsi yang spesifik dan saling menunjang satu sama lain. Selain rumput untuk pakan ternak, pria kelahiran tahun 1970an ini juga menanam Lidah Mertua. Tumbuhan yang satu ini berfungsi untuk menyerap bebauan di sekitarnya, sehingga membuat kandang jauh dari aroma yang tidak sedap. Ada juga Edible Flower yang indah, bernilai ekonomi, dan berkhasiat kesehatan.

Dalam proses penanamannya, Riki mengajak Karang Taruna Pasir Angling untuk mempercantik kawasan PPD. Hal ini diharapkan mampu membangun keguyuban dan kesadaran para pemuda tentang pentingnya posisi mereka dalam masyarakat. Pada akhirnya, Pusat Pembiakan Domba Pasir Angling bukan saja jadi kawasan peternakan integratif yang indah, nyaman, dan juga produktif. PPD juga simbol dari gotong royong para pemuda Pasir Angling sebagai generasi penerus bangsa.

Lebih lanjut, Riki berharap fasilitas Pusat Pembiakan Domba Pasir Angling tersebut bisa menjadi salah satu model peternakan domba integratif di Indonesia sekaligus jadi ruang belajar para peternak di Bandung, Jawa Barat, dan Indonesia pada umumnya. Oleh karena itu, sosok murah senyum ini mengundang mereka yang ingin belajar tentang peternakan integratif untuk datang ke Pasir Angling. “Silahkan datang, dan kita sama-sama belajar di sini,” ajaknya.***

Pasang Sensor Baru, Muka Air Sungai Cikapundung Kini Terpantau Online!

Anggota Divisi Instrumentasi Walungan sedang memasang alat sensor Stasiun Tinggi Muka Air di Bendungan Bantar Awi, Sungai Cikapundung, Bandung, Jawa Barat. (Foto: Bambang Setyadi)

Walungan memasang alat sensor baru Stasiun Tinggi Muka Air (STMA) 4.0 di Bendungan Bantar Awi Sungai Cikapundung di area Taman Hutan Raya Djuanda pada Kamis, 17 Februari 2022. Alat ini merupakan generasi keempat perangkat sensor yang sudah dikembangkan oleh Walungan sejak tahun 2013. Lalu, apa saja keunggulan perangkat ini dibandingkan pendahulunya?

Toris Pristiwahono, Kepala Pengembangan Perangkat Divisi Instrumentasi Walungan, menyampaikan bahwa pihaknya menerapkan empat penyempurnaan dalam perangkat sensor permukaan air sungai tersebut. Pertama, fitur Telemetri yang memungkinkan data-data sensor langsung dikirimkan ke server secara periodik melalui saluran jaringan telepon seluler. Periode pengirimannya pun cukup rapat, yaitu sekitar 10 menit. Artinya, ada sekitar 144 data tinggi muka air sungai Cikapundung dalam waktu 24 jam.

Menurut Toris, jumlah datanya tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan pencatatan muka air sungai secara manual yang hanya dilakukan sebanyak dua kali dalam sehari: pagi dan sore. Akibatnya, lonjakan debit air yang terjadi pada tengah malam atau di luar waktu pemantauan lepas dari pengamatan dan pencatatan. “Padahal, bisa jadi, lonjakan debit air tersebut penting bagi para periset,” paparnya.

Keunggulan lainnya, Toris memaparkan bahwa fitur Telemetri ini juga memungkinkan tim instrumentasi merespon kerusakan perangkat STMA 4.0 dalam waktu cepat, yaitu maksimal 24 jam. Hal ini meminimalisir kehilangan data akibat perangkat yang tidak berfungsi optimal.

Pada perangkat sebelumnya, fitur Telemetri terkendala lokasi STMA yang berada di luar jangkauan sinyal perangkat telepon seluler. Saat itu, Toris hanya melengkapi perangkat sensornya dengan fitur Wi-fi. Fitur ini memungkinkan Tim Instrumentasi Walungan untuk mengambil data dengan cara mengunduhnya langsung dari perangkat. Hanya saja, Toris dan timnya harus mengunjungi lokasi perangkatnya untuk mengambil data, setidaknya dua pekan sekali. Kendala lainnya, tim kerap kehilangan data bila perangkat berhenti berfungsi beberapa jam atau hari setelah kunjungan terakhir. “Perangkat sebelumnya menyedot energi tim lebih banyak,” tandas alumni Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya ini.

Penyempurnaan kedua, perangkat STMA 4.0 mampu mengukur ketinggian muka air sungai dengan lebih detail dan presisi. Toris menyampaikan bahwa resolusi perangkat sensornya mampu menangkap perubahan hingga jarak satu milimeter. “Jadi, perubahan air sekecil apa pun bisa terdeteksi,” ungkap pria kelahiran Blitar, Jawa Timur ini.

Ketiga, kemampuan memproses datanya pun lebih banyak dan luas. Menurut Toris, timnya mempersenjatai STMA 4.0 dengan mikroprosesor dan mikrokontroler yang lebih lengkap. Hasilnya, perangkat sensor tersebut mampu menyimpan data lebih banyak dengan variasi sensor yang lebih luas. Harapannya, STMA 4.0 mampu mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan sensor yang lebih beragam seiring kebutuhan para periset.

Terakhir, kebutuhan daya dan energinya jauh lebih rendah dari versi sebelumnya. Saat ini, STMA 4.0 menggunakan energi yang berasal dari solar panel berukuran 50 WP. Listrik dari solar panel ini, menurut Toris tersimpan di baterai yang terpasang di lokasi. Hasilnya, kombinasi solar panel dan baterai ini mampu menjaga perangkat sensornya tersebut bekerja tiada henti selama 24 jam.

Walungan sendiri sudah mengumpulkan data debit air di Bendungan Bantar Awi sejak tahun 2013 silam. Pengumpulan data ini merupakan bagian dari pemetaan pola iklim sekaligus karakter aliran air Sungai Cikapundung dan dampaknya terhadap masyarakat di Cekungan Bandung. Capaian utamanya, data debit air ini memungkinkan para periset Walungan melihat tren aliran air yang berkorelasi langsung terhadap kondisi tangkapan air di bagian hulu.

Selain data debit air, Walungan juga mengembangkan perangkat Stasiun Pencatat Cuaca Otomatis (SPCO) sebagai bagian dari pemetaan pola iklim di Cekungan Bandung. Saat ini, SPCO baru dipasang di Pasir Angling, Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Ke depan, SPCO serupa akan dikembangkan di lokasi riset Walungan lainnya di Cekungan Bandung, beberapa di antaranya: Bojong Koneng, Kabupaten Bandung Barat; Mandalasari, Cicalengka, Kabupaten Bandung; serta Buah Batu, Kota Bandung. “Semoga perangkat SPCO juga bisa kami tingkatkan kemampuannya dalam waktu dekat,” tutup Toris, singkat.***

Walungan Selesaikan Bangunan Pusat Pembiakan Domba di Pasir Angling

Fasilitas pembiakan domba yang dibangun oleh Walungan di Pasir Angling. (Foto: Yudha PS)

Guna meningkatkan proses pembiakan domba, Divisi Peternakan Walungan membangun fasilitas Pusat Pembiakan Domba (PPD) di Pasir Angling, Suntenjaya, Lembang, Bandung Barat, Jawa Barat. Riki Frediansyah, Ketua sekaligus Kepala Divisi Peternakan Walungan, menargetkan fasilitas ini mampu meningkatkan pembiakan domba di Pasir Angling. Rencananya, PPD akan mulai difungsikan mulai Oktober 2021.

Pusat Pembiakan Domba sendiri memiliki kapasitas empat ruangan pembiakan dengan total ukuran 5 x 10 meter persegi. Masing-masing ruangan bisa menampung 10 ekor domba yang terdiri dari sembilan betina dan satu jantan. Selama tiga bulan, domba-domba tersebut akan dipelihara di ruangan tersebut hingga mengalami kebuntingan. Setelahnya, baru domba-domba betina dipisahkan ke kandang khusus. Di kandang ini, betina akan dimonitor perkembangan kebuntingan hingga proses kelahiran tiba.

Lebih lanjut, Riki menyampaikan bahwa PPD memiliki fungsi strategis dalam proses peternakan domba. Menurut alumni Kedokteran Hewan IPB ini, fasilitas pembiakan bertujuan untuk menjaga kualitas domba. Peternak bisa mengatur perkawinan antar domba-domba yang memiliki bibit unggul dengan anakan yang sesuai dengan karakter gen induknya dan sehat secara fisik. “Jangan sampai terjadi in-breeding. Kualitas anakannya bisa buruk,” papar Riki.

Menurut Riki, In-Breeding sendiri merujuk kepada pembiakan yang induknya memiliki gen berdekatan, seperti: pejantan yang kawin dengan induknya, atau pejantan yang kawin dengan anaknya. Bisa dipastikan, kualitas anak yang dilahirkannya akan jatuh, bahkan kesehatannya cenderung rentan. Dalam konteks ini, PPD membantu peternak untuk menghindari perkawinan antar domba yang memiliki gen berdekatan.

Berbasis Peternakan Integratif
Pusat Pembiakan Domba Pasir Angling memiliki banyak keunggulan secara rancangan. Menurut Riki, timnya menerapkan aspek Pertanian & Peternakan Integratif yang membuat PPD mempermudah peternak, ramah terhadap lingkungan, dan memperhatikan kenyamanan ternak.

Riki mencontohkan dengan lantai kandang yang terbuat dari bambu. Bilah-bilah bambu dibuat agak renggang, sehingga limbah berupa padatan dan urin terpisah secara otomatis. Selain meminimalisir aroma tidak sedap dari kandang, sistem ini mempermudah proses pembuatan pupuk dari limbah padat dan cairan secara terpisah.

Kawasan kandang juga dirancang agar nyaman untuk hewan dan peternaknya. Bagi ternak, Riki menyediakan arena gembalaan, menjaga kebersihan kandang, menyuplai makanan bergizi, serta menanam tumbuh-tumbuhan di sekitar kandang. Sedangkan bagi peternak, rancangan PPD ini membuat mereka lebih mudah dalam bekerja, sejuk dalam memandang, dan tetap bersih dalam beraktivitas.

Riki juga mempertimbangkan aspek cuaca dan iklim di Pasir Angling untuk fasilitas pembiakannya tersebut. Ayah dua anak ini merancang dinding kandang yang mampu menahan angin dan air hujan yang datang secara tidak beraturan akibat posisi PPD yang berada di lembah. Air hujan sendiri kemudian dialirkan ke tempat yang membuatnya bisa dipanen.

Aspek tumbuhan di sekitar PPD juga jadi faktor penting bagi ternak dan peternaknya. Riki menanam berbagai tumbuhan yang memiliki fungsi yang spesifik dan saling menunjang satu sama lain. Selain rumput untuk pakan ternak, pria kelahiran tahun 1970an ini juga menanam Lidah Mertua. Tumbuhan yang satu ini berfungsi untuk menyerap bebauan di sekitarnya, sehingga membuat kandang jauh dari aroma yang tidak sedap. Ada juga Edible Flower yang indah, bernilai ekonomi, dan berkhasiat kesehatan.

Dalam proses penanamannya, Riki mengajak Karang Taruna Pasir Angling untuk mempercantik kawasan PPD. Hal ini diharapkan mampu membangun keguyuban dan kesadaran para pemuda tentang pentingnya posisi mereka dalam masyarakat. Pada akhirnya, Pusat Pembiakan Domba Pasir Angling bukan saja jadi kawasan peternakan integratif yang indah, nyaman, dan juga produktif. PPD juga simbol dari gotong royong para pemuda Pasir Angling sebagai generasi penerus bangsa.

Lebih lanjut, Riki berharap fasilitas Pusat Pembiakan Domba Pasir Angling tersebut bisa menjadi salah satu model peternakan domba integratif di Indonesia sekaligus jadi ruang belajar para peternak di Bandung, Jawa Barat, dan Indonesia pada umumnya. Oleh karena itu, sosok murah senyum ini mengundang mereka yang ingin belajar tentang peternakan integratif untuk datang ke Pasir Angling. “Silahkan datang, dan kita sama-sama belajar di sini,” ajaknya.***

Mesin Pengolah Sampah Itu Berjuluk Magot dan Ayam

Syarif Azis sedang memberi makan ayam-ayamnya dengan sampah organik. (Foto: Yudha PS)

Matahari baru saja hinggap di atas kepala di Kota Tasikmalaya siang itu. Namun, kondisi cuaca yang panas tersebut tidak menyurutkan tekad Syarif Azis untuk memberi makan kepada ayam-ayam peliharaannya di kandang. Aktivitas yang tampak biasa memang, tetapi cukup mengernyitkan dahi para peternak pada umumnya ketika mengetahui komposisi terbesar pakannya: sampah buah-buahan.

“Kami sedang mencoba formula baru untuk pakan ayam kampung,” papar penyandang gelar sarjana peternakan dari Universitas Padjadjaran Bandung ini. Dia mencampur sampah organik dengan dedak dan pelet. Komposisinya pun terbilang besar, yaitu: 60 persen sampah organik, 30 persen dedak, dan 10 persen pelet premium. Ayam-ayam kampung peliharaan Syarif pun makan dengan lahapnya.

Berbicara peternakan, perkara pakan memang memakan biaya yang cukup besar. Namun, Syarif sendiri melihat bahwa sampah organik ternyata menawarkan solusi atas tingginya pakan dalam peternakan ayam kampung. Dia mampu mereduksi harga pakan hingga 50 persen. Hasil lainnya, Syarif melihat bobot ayam pun meningkat di atas rata-rata pada umumnya. Pada usia sekitar 42 hari atau 6 pekan, rata-rata ayam kampung peliharaan Syarif memiliki bobot kisaran 600-700 gram. Hal ini cukup baik bila dibandingkan rata-rata bobot ayam kampung hasil penelusuran literaturnya yang hanya mencapai kisaran 450-500 gram pada usia yang sama.

Ke depan, Syarif menargetkan bahwa timnya mampu mengupayakan bahan baku yang tersedia di alam sebagai pakan ayam kampung. Pakan dedak akan digantikan dengan tepung magot secara bertahap. Konsentrat pun berusaha dia dan timnya kurangi dari 10 persen, kemudian jadi lima persen. “Mudah-mudahan bisa turun hingga nol persen,” ucapnya penuh harap.

Aktivitas Syarif ini merupakan rangkaian dari riset pengolahan sampah organik perkotaan. Sentral aktivitasnya berada di Pusat Riset Pengolahan Sampah Organik Walungan di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Letaknya pun cukup strategis, yaitu bersebelahan dengan pasar induk terbesar di Kota Santri. Hal ini mempermudah Syarif dan timnya untuk memindahkan sampah organik dari area sayur-sayuran dan buah-buahan ke area pengolahan sampah.

Berbicara tentang sampah, pada tahun 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan bahwa sampah terbanyak di masyarakat berjenis sampah organik, yaitu hingga 42,8 persen. Rumah tangga dan area pasar tradisional merupakan penyumbang sampah terbesar dengan besaran masing-masing 45,7 persen dan 22,7 persen. Limbah inilah yang coba Syarif sulap menjadi tantangan, peluang, dan bahkan berkah.

Lebih lanjut, bapak dua anak ini memaparkan bahwa riset pengolahan sampahnya fokus ke pengembangan larva Lalat Prajurit Hitam (Black Soldier Fly) sebagai mesin pengolah sampah organik. Menurutnya, larva berjuluk magot ini mampu mengkonsumsi sampah organik dengan ukuran besar dalam waktu cepat. Sebagai ilustrasi, satu Kilogram magot bisa menghabiskan 10 Kilogram sampah per hari. Dalam waktu 30 hari, jumlah magot yang sama mampu menghabiskan 300 Kilogram sampah organik.

Variasi sampah organiknya pun cukup luas. Syarif sendiri kerap menggunakan sampah buah-buahan, seperti: buah naga, semangka, dan pisang, serta sayur-sayuran, seperti: kol, tomat, kubis, wortel, dan brokoli. Buah-buahan sendiri relatif lebih mudah dikonsumsi oleh magot lantaran kondisinya sudah membusuk. Namun, khusus untuk sayuran, Syarif biasanya mencacahnya terlebih dahulu agar mampu dikonsumsi lebih baik oleh magot. Jumlah yang diolahnya pun mencapai 1,5 hingga 2 ton sampah organik. “Namun, jumlah tersebut belum maksimal,” paparnya.

Menurutnya, timnya masih terkendala masalah pengangkutan yang masih terbatas. Tantangan lainnya, pria kelahiran Tasik ini juga masih harus mempersiapkan rangkaian pengolahan magot dan hasil pengolahan sampahnya dalam jumlah yang besar. Dia masih harus berjuang untuk memisahkan magot yang sudah mulai memasuki fase pupa dari medianya lantaran alat pengolahan yang masih hanya untuk skala kecil.

Pada usia 40 hingga 45 hari, larva BSF sendiri akan berubah menjadi pupa untuk kemudian bertransformasi menjadi lalat beberapa hari kemudian. Pada fase ini, para peternak magot kerap memisahkannya dari sampah organik yang mulai menjadi kompos dan kasgot. Kompos dan kasgot merupakan produk sampingan budidaya magot. Kasgot sendiri merupakan kependekan dari Bekas Magot yang merupakan serpihan hasil residu sang larva. Media ini cukup subur dan baik sebagai pupuk bagi tanaman. Sedangkan kompos merupakan bagian residu yang lebih besar dari magot dan cocok sebagai campuran untuk bercocok tanam.

Dalam konteks sebagai pakan, magot BSF baru digunakan sebagai pakan ayam semata. Bila jumlah magotnya berlimpah, komposisi pakan pun diubah menjadi 20 persen magot, 40 persen sampah organik, serta 30 persen dedak dan 10 persen konsentrat. Ke depan, Syarif menargetkan untuk memperluas penyaluran magot ke ikan. Pasalnya, kebutuhan protein ikan lebih banyak dibandingkan ayam, sehingga ikan memadai untuk mengkonsumsi magot lebih banyak dibandingkan ayam.

Tantangan lainnya, Syarif masih harus menelusuri perkembangan magot yang sangat berkorelasi dengan cuaca dan iklim tempatnya berkembang biak. Perlu waktu memang, tetapi dirinya terus berjuang untuk mewujudkan mesin pengolah sampah alami tersebut yang mampu menyulap sampah menjadi berkah.***

Pasang Sensor Baru, Muka Air Sungai Cikapundung Kini Terpantau Online!

Anggota Divisi Instrumentasi Walungan sedang memasang alat sensor Stasiun Tinggi Muka Air di Bendungan Bantar Awi, Sungai Cikapundung, Bandung, Jawa Barat. (Foto: Bambang Setyadi)

Walungan memasang alat sensor baru Stasiun Tinggi Muka Air (STMA) 4.0 di Bendungan Bantar Awi Sungai Cikapundung di area Taman Hutan Raya Djuanda pada Kamis, 17 Februari 2022. Alat ini merupakan generasi keempat perangkat sensor yang sudah dikembangkan oleh Walungan sejak tahun 2013. Lalu, apa saja keunggulan perangkat ini dibandingkan pendahulunya?

Toris Pristiwahono, Kepala Pengembangan Perangkat Divisi Instrumentasi Walungan, menyampaikan bahwa pihaknya menerapkan empat penyempurnaan dalam perangkat sensor permukaan air sungai tersebut. Pertama, fitur Telemetri yang memungkinkan data-data sensor langsung dikirimkan ke server secara periodik melalui saluran jaringan telepon seluler. Periode pengirimannya pun cukup rapat, yaitu sekitar 10 menit. Artinya, ada sekitar 144 data tinggi muka air sungai Cikapundung dalam waktu 24 jam.

Menurut Toris, jumlah datanya tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan pencatatan muka air sungai secara manual yang hanya dilakukan sebanyak dua kali dalam sehari: pagi dan sore. Akibatnya, lonjakan debit air yang terjadi pada tengah malam atau di luar waktu pemantauan lepas dari pengamatan dan pencatatan. “Padahal, bisa jadi, lonjakan debit air tersebut penting bagi para periset,” paparnya.

Keunggulan lainnya, Toris memaparkan bahwa fitur Telemetri ini juga memungkinkan tim instrumentasi merespon kerusakan perangkat STMA 4.0 dalam waktu cepat, yaitu maksimal 24 jam. Hal ini meminimalisir kehilangan data akibat perangkat yang tidak berfungsi optimal.

Pada perangkat sebelumnya, fitur Telemetri terkendala lokasi STMA yang berada di luar jangkauan sinyal perangkat telepon seluler. Saat itu, Toris hanya melengkapi perangkat sensornya dengan fitur Wi-fi. Fitur ini memungkinkan Tim Instrumentasi Walungan untuk mengambil data dengan cara mengunduhnya langsung dari perangkat. Hanya saja, Toris dan timnya harus mengunjungi lokasi perangkatnya untuk mengambil data, setidaknya dua pekan sekali. Kendala lainnya, tim kerap kehilangan data bila perangkat berhenti berfungsi beberapa jam atau hari setelah kunjungan terakhir. “Perangkat sebelumnya menyedot energi tim lebih banyak,” tandas alumni Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya ini.

Penyempurnaan kedua, perangkat STMA 4.0 mampu mengukur ketinggian muka air sungai dengan lebih detail dan presisi. Toris menyampaikan bahwa resolusi perangkat sensornya mampu menangkap perubahan hingga jarak satu milimeter. “Jadi, perubahan air sekecil apa pun bisa terdeteksi,” ungkap pria kelahiran Blitar, Jawa Timur ini.

Ketiga, kemampuan memproses datanya pun lebih banyak dan luas. Menurut Toris, timnya mempersenjatai STMA 4.0 dengan mikroprosesor dan mikrokontroler yang lebih lengkap. Hasilnya, perangkat sensor tersebut mampu menyimpan data lebih banyak dengan variasi sensor yang lebih luas. Harapannya, STMA 4.0 mampu mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan sensor yang lebih beragam seiring kebutuhan para periset.

Terakhir, kebutuhan daya dan energinya jauh lebih rendah dari versi sebelumnya. Saat ini, STMA 4.0 menggunakan energi yang berasal dari solar panel berukuran 50 WP. Listrik dari solar panel ini, menurut Toris tersimpan di baterai yang terpasang di lokasi. Hasilnya, kombinasi solar panel dan baterai ini mampu menjaga perangkat sensornya tersebut bekerja tiada henti selama 24 jam.

Walungan sendiri sudah mengumpulkan data debit air di Bendungan Bantar Awi sejak tahun 2013 silam. Pengumpulan data ini merupakan bagian dari pemetaan pola iklim sekaligus karakter aliran air Sungai Cikapundung dan dampaknya terhadap masyarakat di Cekungan Bandung. Capaian utamanya, data debit air ini memungkinkan para periset Walungan melihat tren aliran air yang berkorelasi langsung terhadap kondisi tangkapan air di bagian hulu.

Selain data debit air, Walungan juga mengembangkan perangkat Stasiun Pencatat Cuaca Otomatis (SPCO) sebagai bagian dari pemetaan pola iklim di Cekungan Bandung. Saat ini, SPCO baru dipasang di Pasir Angling, Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Ke depan, SPCO serupa akan dikembangkan di lokasi riset Walungan lainnya di Cekungan Bandung, beberapa di antaranya: Bojong Koneng, Kabupaten Bandung Barat; Mandalasari, Cicalengka, Kabupaten Bandung; serta Buah Batu, Kota Bandung. “Semoga perangkat SPCO juga bisa kami tingkatkan kemampuannya dalam waktu dekat,” tutup Toris, singkat.***

Mesin Pengolah Sampah Itu Berjuluk Magot dan Ayam

Syarif Azis sedang memberi makan ayam-ayamnya dengan sampah organik. (Foto: Yudha PS)

Matahari baru saja hinggap di atas kepala di Kota Tasikmalaya siang itu. Namun, kondisi cuaca yang panas tersebut tidak menyurutkan tekad Syarif Azis untuk memberi makan kepada ayam-ayam peliharaannya di kandang. Aktivitas yang tampak biasa memang, tetapi cukup mengernyitkan dahi para peternak pada umumnya ketika mengetahui komposisi terbesar pakannya: sampah buah-buahan.

“Kami sedang mencoba formula baru untuk pakan ayam kampung,” papar penyandang gelar sarjana peternakan dari Universitas Padjadjaran Bandung ini. Dia mencampur sampah organik dengan dedak dan pelet. Komposisinya pun terbilang besar, yaitu: 60 persen sampah organik, 30 persen dedak, dan 10 persen pelet premium. Ayam-ayam kampung peliharaan Syarif pun makan dengan lahapnya.

Berbicara peternakan, perkara pakan memang memakan biaya yang cukup besar. Namun, Syarif sendiri melihat bahwa sampah organik ternyata menawarkan solusi atas tingginya pakan dalam peternakan ayam kampung. Dia mampu mereduksi harga pakan hingga 50 persen. Hasil lainnya, Syarif melihat bobot ayam pun meningkat di atas rata-rata pada umumnya. Pada usia sekitar 42 hari atau 6 pekan, rata-rata ayam kampung peliharaan Syarif memiliki bobot kisaran 600-700 gram. Hal ini cukup baik bila dibandingkan rata-rata bobot ayam kampung hasil penelusuran literaturnya yang hanya mencapai kisaran 450-500 gram pada usia yang sama.

Ke depan, Syarif menargetkan bahwa timnya mampu mengupayakan bahan baku yang tersedia di alam sebagai pakan ayam kampung. Pakan dedak akan digantikan dengan tepung magot secara bertahap. Konsentrat pun berusaha dia dan timnya kurangi dari 10 persen, kemudian jadi lima persen. “Mudah-mudahan bisa turun hingga nol persen,” ucapnya penuh harap.

Aktivitas Syarif ini merupakan rangkaian dari riset pengolahan sampah organik perkotaan. Sentral aktivitasnya berada di Pusat Riset Pengolahan Sampah Organik Walungan di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Letaknya pun cukup strategis, yaitu bersebelahan dengan pasar induk terbesar di Kota Santri. Hal ini mempermudah Syarif dan timnya untuk memindahkan sampah organik dari area sayur-sayuran dan buah-buahan ke area pengolahan sampah.

Berbicara tentang sampah, pada tahun 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan bahwa sampah terbanyak di masyarakat berjenis sampah organik, yaitu hingga 42,8 persen. Rumah tangga dan area pasar tradisional merupakan penyumbang sampah terbesar dengan besaran masing-masing 45,7 persen dan 22,7 persen. Limbah inilah yang coba Syarif sulap menjadi tantangan, peluang, dan bahkan berkah.

Lebih lanjut, bapak dua anak ini memaparkan bahwa riset pengolahan sampahnya fokus ke pengembangan larva Lalat Prajurit Hitam (Black Soldier Fly) sebagai mesin pengolah sampah organik. Menurutnya, larva berjuluk magot ini mampu mengkonsumsi sampah organik dengan ukuran besar dalam waktu cepat. Sebagai ilustrasi, satu Kilogram magot bisa menghabiskan 10 Kilogram sampah per hari. Dalam waktu 30 hari, jumlah magot yang sama mampu menghabiskan 300 Kilogram sampah organik.

Variasi sampah organiknya pun cukup luas. Syarif sendiri kerap menggunakan sampah buah-buahan, seperti: buah naga, semangka, dan pisang, serta sayur-sayuran, seperti: kol, tomat, kubis, wortel, dan brokoli. Buah-buahan sendiri relatif lebih mudah dikonsumsi oleh magot lantaran kondisinya sudah membusuk. Namun, khusus untuk sayuran, Syarif biasanya mencacahnya terlebih dahulu agar mampu dikonsumsi lebih baik oleh magot. Jumlah yang diolahnya pun mencapai 1,5 hingga 2 ton sampah organik. “Namun, jumlah tersebut belum maksimal,” paparnya.

Menurutnya, timnya masih terkendala masalah pengangkutan yang masih terbatas. Tantangan lainnya, pria kelahiran Tasik ini juga masih harus mempersiapkan rangkaian pengolahan magot dan hasil pengolahan sampahnya dalam jumlah yang besar. Dia masih harus berjuang untuk memisahkan magot yang sudah mulai memasuki fase pupa dari medianya lantaran alat pengolahan yang masih hanya untuk skala kecil.

Pada usia 40 hingga 45 hari, larva BSF sendiri akan berubah menjadi pupa untuk kemudian bertransformasi menjadi lalat beberapa hari kemudian. Pada fase ini, para peternak magot kerap memisahkannya dari sampah organik yang mulai menjadi kompos dan kasgot. Kompos dan kasgot merupakan produk sampingan budidaya magot. Kasgot sendiri merupakan kependekan dari Bekas Magot yang merupakan serpihan hasil residu sang larva. Media ini cukup subur dan baik sebagai pupuk bagi tanaman. Sedangkan kompos merupakan bagian residu yang lebih besar dari magot dan cocok sebagai campuran untuk bercocok tanam.

Dalam konteks sebagai pakan, magot BSF baru digunakan sebagai pakan ayam semata. Bila jumlah magotnya berlimpah, komposisi pakan pun diubah menjadi 20 persen magot, 40 persen sampah organik, serta 30 persen dedak dan 10 persen konsentrat. Ke depan, Syarif menargetkan untuk memperluas penyaluran magot ke ikan. Pasalnya, kebutuhan protein ikan lebih banyak dibandingkan ayam, sehingga ikan memadai untuk mengkonsumsi magot lebih banyak dibandingkan ayam.

Tantangan lainnya, Syarif masih harus menelusuri perkembangan magot yang sangat berkorelasi dengan cuaca dan iklim tempatnya berkembang biak. Perlu waktu memang, tetapi dirinya terus berjuang untuk mewujudkan mesin pengolah sampah alami tersebut yang mampu menyulap sampah menjadi berkah.***

Walungan Selesaikan Bangunan Pusat Pembiakan Domba di Pasir Angling

Fasilitas pembiakan domba yang dibangun oleh Walungan di Pasir Angling. (Foto: Yudha PS)

Guna meningkatkan proses pembiakan domba, Divisi Peternakan Walungan membangun fasilitas Pusat Pembiakan Domba (PPD) di Pasir Angling, Suntenjaya, Lembang, Bandung Barat, Jawa Barat. Riki Frediansyah, Ketua sekaligus Kepala Divisi Peternakan Walungan, menargetkan fasilitas ini mampu meningkatkan pembiakan domba di Pasir Angling. Rencananya, PPD akan mulai difungsikan mulai Oktober 2021.

Pusat Pembiakan Domba sendiri memiliki kapasitas empat ruangan pembiakan dengan total ukuran 5 x 10 meter persegi. Masing-masing ruangan bisa menampung 10 ekor domba yang terdiri dari sembilan betina dan satu jantan. Selama tiga bulan, domba-domba tersebut akan dipelihara di ruangan tersebut hingga mengalami kebuntingan. Setelahnya, baru domba-domba betina dipisahkan ke kandang khusus. Di kandang ini, betina akan dimonitor perkembangan kebuntingan hingga proses kelahiran tiba.

Lebih lanjut, Riki menyampaikan bahwa PPD memiliki fungsi strategis dalam proses peternakan domba. Menurut alumni Kedokteran Hewan IPB ini, fasilitas pembiakan bertujuan untuk menjaga kualitas domba. Peternak bisa mengatur perkawinan antar domba-domba yang memiliki bibit unggul dengan anakan yang sesuai dengan karakter gen induknya dan sehat secara fisik. “Jangan sampai terjadi in-breeding. Kualitas anakannya bisa buruk,” papar Riki.

Menurut Riki, In-Breeding sendiri merujuk kepada pembiakan yang induknya memiliki gen berdekatan, seperti: pejantan yang kawin dengan induknya, atau pejantan yang kawin dengan anaknya. Bisa dipastikan, kualitas anak yang dilahirkannya akan jatuh, bahkan kesehatannya cenderung rentan. Dalam konteks ini, PPD membantu peternak untuk menghindari perkawinan antar domba yang memiliki gen berdekatan.

Berbasis Peternakan Integratif
Pusat Pembiakan Domba Pasir Angling memiliki banyak keunggulan secara rancangan. Menurut Riki, timnya menerapkan aspek Pertanian & Peternakan Integratif yang membuat PPD mempermudah peternak, ramah terhadap lingkungan, dan memperhatikan kenyamanan ternak.

Riki mencontohkan dengan lantai kandang yang terbuat dari bambu. Bilah-bilah bambu dibuat agak renggang, sehingga limbah berupa padatan dan urin terpisah secara otomatis. Selain meminimalisir aroma tidak sedap dari kandang, sistem ini mempermudah proses pembuatan pupuk dari limbah padat dan cairan secara terpisah.

Kawasan kandang juga dirancang agar nyaman untuk hewan dan peternaknya. Bagi ternak, Riki menyediakan arena gembalaan, menjaga kebersihan kandang, menyuplai makanan bergizi, serta menanam tumbuh-tumbuhan di sekitar kandang. Sedangkan bagi peternak, rancangan PPD ini membuat mereka lebih mudah dalam bekerja, sejuk dalam memandang, dan tetap bersih dalam beraktivitas.

Riki juga mempertimbangkan aspek cuaca dan iklim di Pasir Angling untuk fasilitas pembiakannya tersebut. Ayah dua anak ini merancang dinding kandang yang mampu menahan angin dan air hujan yang datang secara tidak beraturan akibat posisi PPD yang berada di lembah. Air hujan sendiri kemudian dialirkan ke tempat yang membuatnya bisa dipanen.

Aspek tumbuhan di sekitar PPD juga jadi faktor penting bagi ternak dan peternaknya. Riki menanam berbagai tumbuhan yang memiliki fungsi yang spesifik dan saling menunjang satu sama lain. Selain rumput untuk pakan ternak, pria kelahiran tahun 1970an ini juga menanam Lidah Mertua. Tumbuhan yang satu ini berfungsi untuk menyerap bebauan di sekitarnya, sehingga membuat kandang jauh dari aroma yang tidak sedap. Ada juga Edible Flower yang indah, bernilai ekonomi, dan berkhasiat kesehatan.

Dalam proses penanamannya, Riki mengajak Karang Taruna Pasir Angling untuk mempercantik kawasan PPD. Hal ini diharapkan mampu membangun keguyuban dan kesadaran para pemuda tentang pentingnya posisi mereka dalam masyarakat. Pada akhirnya, Pusat Pembiakan Domba Pasir Angling bukan saja jadi kawasan peternakan integratif yang indah, nyaman, dan juga produktif. PPD juga simbol dari gotong royong para pemuda Pasir Angling sebagai generasi penerus bangsa.

Lebih lanjut, Riki berharap fasilitas Pusat Pembiakan Domba Pasir Angling tersebut bisa menjadi salah satu model peternakan domba integratif di Indonesia sekaligus jadi ruang belajar para peternak di Bandung, Jawa Barat, dan Indonesia pada umumnya. Oleh karena itu, sosok murah senyum ini mengundang mereka yang ingin belajar tentang peternakan integratif untuk datang ke Pasir Angling. “Silahkan datang, dan kita sama-sama belajar di sini,” ajaknya.***